“Arif, satu ditambah tiga berapa?” tanya seorang guru matematika di tempat saya mengajar pada salah seorang siswa kelas sembilan.
Pertanyaan itu, seperti yang sudah diduga sebelumnya, tidak berhasil dijawab oleh Arif. Meskipun sudah menjadi siswa kelas 9 di tingkat SMP, Arif tidak mampu menjawab pertanyaan yang mudah dijawab oleh siswa tingkat SD. Ya, Arif punya keterbatasan. Tapi semangatnya untuk bersekolah tidak terbatas. Hampir tidak pernah ia izin dan meninggalkan sekolah. Ia selalu hadir, berusaha menjawab ketika ditanya meskipun sebagian besar jawabannya tidak tepat.
Arif mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran sejak SD. Ia kesulitan memahami pelajaran yang disampaikan guru. Dan itu berlanjut sampai ia masuk ke jenjang SMP.
Tapi yang mengejutkan para guru adalah kehidupannya di luar sekolah.
Dalam beberapa bulan terakhir, ia punya profesi baru; pengatur jalan. Belakangan jalan di kampung kami sedang diperbaiki; dicor. Arif sepulang sekolah selalu datang ke lokasi perbaikan jalan untuk mengatur kendaraan yang lewat. Sebagaimana kita tahu, sistem pengecoran jalan selalu bertahap. Separuh jalan diperbaiki, separunya digunakan untuk lalu lintas kendaraan.
Tanpa pengatur jalan, sulit bagi kendaraan untuk bisa lewat dengan mudah. Bisa jadi mereka berpapasan di tengah jalan. Jika demikian satu-satunya jalan adalah salah satu dari mereka harus mengalah mundur.
Nah, di sinilah peran Arif.
Ia mencegah terjadinya hal semacam itu. Ia mengatur jalan dengan sukarela yang tanpa diduga justru sering mendapatkan upah dari perannya itu.
“Berapa kamu dapat setiap hari?” tanya kami, saya dan dua guru lain, ketika bertemu dengannya di ruang guru.
“Dua ratus ribu, Bu,” jawabnya cepat.
Jawabannya membuat kami tersentak.
Ia rupanya pandai berhitung. Entah sejak kapan kami tak tahu. Yang jelas jawabannya itu adalah bukti bahwa ia rupanya bisa berhitung.
Tapi kenapa ia kesulitan menjawab pertanyaan sederhana satu ditambah tiga ketika di dalam kelas?
Di sinilah awal mula kami merasa gagal. Ya, kami gagal mendidiknya di sekolah. Ia justru berhasil di luar sekolah. Ia berhasil dididik jalanan. Menghitung angka satu dipadu dengan angka tiga dia tak tahu. Tapi menghitung angka ribuan dia mampu. Tentu bukan tidak mungkin ada orang lain di jalan sana, yang berprofesi sama sebagai pengatur jalan, yang membantunya menghitung uang.
Fakta tentang Arif menggugah kesadaran kami. Ada yang salah dengan sistem pembelajaran yang kami berikan kepada para siswa. Ada yang perlu diperbaiki. Jika orang-orang di luar sana, tanpa latar belakang pendidikan yang cukup, berhasil mendidik Arif dalam berhitung, kenapa kita justru gagal? Apa yang salah?
Arif mungkin satu dari sekian siswa yang memiliki kecenderungan belajar unik. Ia harus terjun langsung ke lapangan untuk dapat memahami sesuatu. Bukan sebatas teori, ceramah di kelas, atau penjelasan abstrak tanpa bentuk nyata. Arif tidak cocok dengan model belajar semacam itu.
Arif dan mungkin ribuan siswa di luar sana butuh model pembelajaran nyata untuk bisa menangkap semua pelajaran dengan baik. Itu kesimpulan sementara kami para guru yang pada hari itu merasa gagal mendidiknya.
“Kamu kemanakan uang itu, Rif?” tanya guru Matematika bersuku Toraja.
“Kukasih mamak,” jawabnya singkat.
Kembali Arif membuat kami bangga. Dia mungkin gagal mencerna pelajaran di kelas, tapi berhasil menjadi anak yang berbakti pada orang tua.
Oleh: Ali